Tambang Pasir Ancam Ekosistem Pesisir, DKP Sulbar: Eksploitasi SDA dan Pelestarian Lingkungan Mesti Berimbang

oleh -1515 Dilihat

Mamuju, Mesakada.com – Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Sulbar, Suyuti Marzuki, mengeluarkan peringatan terkait aktivitas penambangan pasir laut yang dinilai mengancam kelestarian ekosistem pesisir dan kehidupan masyarakat di sekitarnya.

Menurut dia, penambangan pasir secara masif bisa merusak terumbu karang, padang lamun, dan mangrove. Hal ini bukan kerusakan biasa, tapi ancaman langsung terhadap keberlanjutan lingkungan dan kehidupan masyarakat pesisir.

“Ketiga ekosistem ini bukan sekadar komponen lingkungan, melainkan pilar utama keseimbangan alam dan sumber penghidupan bagi masyarakat pesisir. Kerusakan yang berdampak luas dapat mengancam ketahanan pangan, ekonomi, dan bahkan budaya masyarakat,” kata Suyuti dalam laporannya, Rabu 4 Juni.

Peringatan ini, menurutnya, merupakan bagian dari upaya mendukung visi Gubernur Sulbar, Suhardi Duka (SDK) dan Wakil Gubernur, Salim S Mengga, yang mengedepankan pembangunan berkelanjutan berbasis kesejahteraan rakyat dan kelestarian lingkungan. Ia pun menyerukan perhatian dari semua leading sektor.

Terumbu karang, lamun, dan mangrove bukan hanya elemen alam, tetapi juga pondasi utama keberlangsungan hidup masyarakat pesisir. Ketiganya berfungsi sebagai habitat biota laut, pelindung pantai dari abrasi, hingga penyeimbang iklim melalui penyerapan karbon.

Ia menerangkan, terumbu karang ibarat hutan hujan di laut, tempat pemijahan dan pembesaran ikan. Lamun menyerap karbon dan menstabilkan sedimen, sedangkan mangrove melindungi garis pantai dan menjadi tempat hidup berbagai spesies laut.

“Penambangan pasir yang merusak ekosistem ini akan memutus rantai kehidupan tersebut, berdampak negatif pada perikanan, pariwisata, dan ekonomi berbasis kelautan,” jelasnya.

Jika ketiganya rusak akibat penambangan, dampaknya bisa meluas, mulai dari menurunnya hasil tangkapan nelayan, kerusakan pariwisata bahari, hingga terganggunya ekonomi lokal yang bergantung pada laut.

Namun, Suyuti menekankan bahwa pelarangan total bukan satu-satunya jalan keluar. Menurutnya, pendekatan holistik berbasis keadilan sosial dan keberlanjutan jauh lebih penting.

“Oleh karena itu, solusi yang holistik dan berkelanjutan diperlukan, bukan hanya sekadar pelarangan total, tetapi juga pengelolaan sumber daya yang bijak dan berkeadilan,” bebernya.

Intervensi sosial berupa pelatihan, pengentasan kemiskinan, pembangunan infrastruktur, dan pengelolaan limbah juga dianggap penting untuk mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap praktik eksploitasi sumber daya alam yang merusak.

Suyuti juga mendorong pelibatan aktif masyarakat dalam proses perizinan dan pengawasan aktivitas pertambangan. Ia percaya bahwa transparansi dan partisipasi publik adalah kunci untuk menciptakan keadilan ekologis.

“Kalau masyarakat dilibatkan sejak awal, mereka bisa jadi pelindung lingkungan paling efektif. Karena mereka yang paling terdampak langsung,” kata dia.

Isu tambang pasir laut, lanjut Suyuti, tidak bisa dilihat secara sepihak. Perlu ada keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan kelestarian alam.

“Jangan sampai pembangunan jangka pendek merusak masa depan generasi yang akan datang,” ujarnya. (*)

No More Posts Available.

No more pages to load.