Perpustakaan: Negeriku yang Hilang

oleh -196 Dilihat
Askar Al-Qadri
Oleh: Askar Al-Qadri

Seperti sudah terprediksi, selalu ada narasi mengenai peningkatan pendidikan yang ada di Indonesia setiap harinya. Seiring dengan bertambah dan bergantinya kepemerintahan negara, baik pusat maupun daerah.

Tak elak, beberapa rancangan dan usaha untuk meningkatkan derajat dalam bidang pendidikan pun diatur segala rupa. Hanya saja, belum progresif dan spesifik.

Lebih-lebih, zaman terus melaju pesat yang menuntut seluruh bagian masyarakat untuk meningkatkan kualitas dan sumber daya manusia agar mampu bersaing dan menguasai ilmu pengetahuan. Lagi-lagi, amanat undang-undang soal mencerdaskan kehidupan bangsa sejak dahulu telah termaktub.

Secara umum, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan adalah proses, cara, atau perbuatan mendidik. Oleh karena itu, sudah sejauh mana perintah undang-undang kita jalankan?

Jika ditelisik lebih dekat, di lingkup desa saja, belum terfasilitasinya masyarakat untuk mengakses ilmu pengetahuan. Dalam hal ini adalah perpustakaan. Meski sudah ada, dugaan sementara, itu timbul dari komunitas tertentu atau prakarsa dari perangkat desa, meski juga belum bisa dikatakan layak.

Bahkan di masa politik saat ini, dalam debatnya saja, belum ada satu calon kandidat pun yang mengangkat isu tentang pendidikan secara khusus. Kendati bisa saja ada satu calon yang punya misi ini, tapi tidak dijamah. Mungkin tidak terlalu berpotensi menciduk suara.

Walaupun ada angin segar pada tahun 2010 lalu. Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat sendiri telah memprogramkan pembangunan perpustakaan desa yang ada di lima kabupaten di Sulawesi Barat.

Namun, program ini terkenda akibat dengan tidak adanya infrastruktur mendukung untuk pengelolaan perpustakaan desa. Begitu rilis dari salah satu media online yang memuat. Namun kenyataannya, program tersebut pada ujungnya terbengkalai.

Melalui telepon via WhatsApp, saya mencoba mengusik seorang kawan. Bisa dikatakan ia salah satu penggiat literasi. Ia punya perpustakaan mini di rumahnya. Desanya pun lumayan jauh dari pusat kota.

Mengawali dengan basa-basi, pada puncaknya kita semufakat yaitu menyuarakan pendidikan melalui jalur perpustakaan. Ia menguraikan banyak hal. Termasuklah belum adanya ruang baca dan tempat berkumpul anak-anak muda membicarakan kemakmuran bangsa.

Baginya, perpustakaan adalah hal pokok dan berharga, terlebih di desa. Ia juga berkata bahwa berdirinya perpustakaan di tempatnya, itu suatu dambaan kuatnya sejak dulu. Ia resah dengan segala tuntutan baik dari pemerintah dan orang tuanya sendiri yang mengharuskannya untuk punya pendidikan tinggi serta pengetahuan luas, namun baginya, bagaimana mau sampai ke sana kalau dasarnya (perpustakaan) saja kami tidak ada. “Katanya semua berasal dari desa. Tapi akses yang mau dipelajari, tidak ada.” Keluhnya sambil terbatuk-batuk.

Ia juga tidak sabar untuk menanti kembali setiap debat kandidat calon kepala daerah baik di tingkat kabupaten dan provinsi. Baginya, ini adalah harapan tinggi.

Barangkali ada calon yang nantinya mendadak mengangkat khusus kembali muruah satu desa, satu perpustakaan. “Kalau ada calon yang komitmen hidupkan kembali satu desa, satu perpustakaan, ku jamin, semua orang akan ku perintahkan pilih calon itu.” Ia tertawa sambil kembali terbatuk-batuk keras.

Pernyataan seorang kawan tersebut juga tidak mengaburkan perkara fakta bahwa memang ada beberapa desa yang sudah lebih dulu memiliki perpustakaan. Di luar dari pemahaman soal bagaimana mengelola dan memperbaharuinya. Namun, program satu desa satu perpustakaan tetap harus dilantangkan.

Tidak memungkiri kalau ini adalah tanggung jawab bersama; bersinergi dan berkolaborasi. Adanya perpustakaan juga setidaknya berpeluang menjadi pemutus mata rantai candunya media sosial, teristimewa pada anak-cucu kita. Apalagi kalau mereka bermedia sosial tanpa pengawasan. Bebas mengakses hal-hal yang belum patut dikonsumsi di usianya.

Diawasi pun kadang seolah malah jadi benalu. Kita sering memarahi mereka akibat berlama-lama di depan gawai, tapi setelahnya, tidak ada opsi dan alternatif apa yang mereka harus lakukan setelah bebas dari ikatan gawai. Jika terus begini, mental sang anak tentu terganggu. Mungkin itu secuil keresahan di era ini.

Dan layaknya seorang anak, merekalah yang nantinya mewujudkan wacana Generasi Emas 2045. Kita belum terlambat. Masih ada waktu membekali mereka sejak dini. Lagi-lagi, spesifik, kita butuh ruang baca. Kita butuh tempat untuk masyarakat, terkhusus anak-cucu kita untuk berkunjung dan kembali.

Entah bentuknya masih konvensional, digital, atau berinovasi dengan menjadikan perpustakaan hibrida. Sebab, lelah juga rasanya mendengar program yang hanya dirapatkan dalam waktu sepekan, esoknya sudah terealisasi dengan anggaran mumpuni.

Kita memang butuh agar infrastruktur dan segala akses dipermudah, tapi lupa kalau isi kepala kita juga semakin hari makin sulit menerima. Otak kita butuh navigasi. Karena semahal apapun ongkos mendirikan gedung baca, ingatlah, bahwa di masa depan, kita malah membayar lebih mahal lagi ketika bangsa kita dipenuhi ketidaktahuan. (*)

No More Posts Available.

No more pages to load.