Mamuju, Mesakada.com – Gelombang penolakan tambang pasir oleh PT Jaya Pasir Andalan di Desa Kalukku Barat dan Desa Beru-Beru, Kabupaten Mamuju, terus menguat. Terbaru, warga menyegel satu unit alat berat milik perusahaan yang hendak memasuki lokasi tambang.
Aksi itu dilakukan sebagai bentuk protes terhadap rencana eksplorasi yang mereka nilai akan merusak lingkungan dan mengancam mata pencaharian masyarakat pesisir.Sejumlah warga berbondong-bondong menutup akses masuk bagi alat berat berupa excavator tersebut.
“Kami sepakat menolak keras dengan adanya alat berat excavator yang masuk ke wilayah Dusun Kayumate, Desa Kalukku Barat. Warga Desa Kalukku Barat akan bersatu menolak tambang pasir,” tegas Koordinator Forum Masyarakat Nelayan Pesisir Desa Kalukku Barat dan Desa Beru-Beru, Amin, Selasa 25 Februari.
Meski PT Jaya Pasir Andalan telah mengantongi izin dari Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sulawesi Barat, masyarakat tetap menolak keberadaan tambang pasir tersebut. Mereka khawatir aktivitas pertambangan akan merusak ekosistem pesisir serta mengancam kehidupan nelayan setempat.
DPRD Sulbar sempat merekomendasikan penghentian sementara operasional tambang pasir. Namun, warga menilai keputusan tersebut tidak diindahkan oleh pemerintah provinsi maupun pihak perusahaan. Bahkan kepolisian pun ikut mengawal PT Jaya Pasir Andalan membawa alat beratnya itu.
“Adanya rencana aktivitas dengan memasukkan kembali alat berat di Desa Kalukku Barat itu membuktikan bahwa Pemprov Sulbar tidak patuh terhadap surat rekomendasi DPRD Sulbar secara kelembagaan. Di sisi lain, hal ini juga menjadi bukti bahwa pihak perusahaan ternyata justru tidak mengindahkan surat rekomendasi DPRD Sulbar,” lanjut Amin.
Penolakan terhadap tambang pasir ini mencerminkan konflik klasik antara kepentingan ekonomi dan kelestarian lingkungan. Bagi warga, keberadaan tambang pasir di pesisir berpotensi mengakibatkan abrasi, hilangnya habitat ikan, serta menurunnya hasil tangkapan nelayan.
Meski perusahaan berupaya memenuhi regulasi perizinan, protes masyarakat menunjukkan bahwa aspek sosial dan lingkungan tidak bisa diabaikan begitu saja. Bagaimana pemerintah dan DPRD menyikapi konflik ini akan menjadi ujian tersendiri dalam pengelolaan sumber daya alam di Sulbar. (*)