1.372 Sertifikat Tumpang Tindih di Pasangkayu, Polsek dan Sekolah Masuk HGU Perusahaan Sawit

oleh -783 Dilihat

Pasangkayu, Mesakada.com – Bukan hanya warga yang tersingkir. Sejumlah kantor polisi, sekolah, hingga fasilitas kesehatan pun kini terjerat di tengah konflik agraria di Kabupaten Pasangkayu, Sulbar.

ronisnya, semua itu bermula dari tumpang tindih antara sertifikat hak milik dan izin Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan kelapa sawit yang terus meluas.

Tokoh masyarakat Pasangkayu, Yani Pepy mengungkapkan data mencengangkan, terdapat 1.372 bidang sertifikat milik warga yang kini tumpang tindih dengan wilayah HGU milik perusahaan sawit.

Menurutnya, hampir seluruh perusahaan sawit yang beroperasi di Pasangkayu telah merambah keluar dari izin HGU yang mereka miliki.

“Lebih mengherankan lagi, karena pemerintah Sulteng dalam hal ini pertanahan Sulteng malah menerbitkan HGU atas nama PT Lestari Tani Teladan, sementara objek tanahnya di wilayah Pasangkayu, Sulbar,” ungkap Yani.

Tak hanya lahan warga, sejumlah aset milik negara juga terdampak. Banyak aset pemerintah yang tumpang tindih dengan HGU perusahaan. Salah satunya Polsek di Jengeng Raya, Jalan Trans Sulawesi, sekolah, fasilitas kesehatan.

“Bahkan ada 90 persen wilayah Desa Pakawa justru masuk HGU PT Pasangkayu,” bebernya.

Yani juga menyoroti perusahaan yang membuka lahan melebihi izin awal. Praktik ini, kata dia, menjadi akar persoalan sengketa agraria yang kini merugikan warga.

“Jadi dibuka dulu seluas-luasnya untuk dijadikan modal usaha. Sementara regulasi tidak demikian, harus izin dulu baru bisa beraktivitas. Tapi setelah izin keluar, ternyata luasannya lebih kecil dari yang sudah ditanami,” jelas Yani, yang juga mantan anggota DPRD Pasangkayu.

Lebih jauh, dia membeberkan prosedur bermasalah dalam penerbitan HGU yang bersinggungan dengan kawasan hutan lindung.

“Gambar ukur BPN tahun 1994 terbit lebih dulu, padahal pelepasan kawasan hutan baru tahun 1996. Ini jelas ada prosedur yang keliru. Seharusnya kawasan hutan dilepas dulu, baru bisa diukur,” kata Yani.

Ia menilai, konflik lahan saat ini terjadi karena perusahaan sendiri gagal mengelola dan menelantarkan lahan yang diberikan negara. Ketika masyarakat masuk ke lahan kosong itu tanpa ada protes dari perusahaan, mereka pun merasa berhak.

“Kesimpulan saya, perusahaan menelantarkan lahan yang diberikan untuk berusaha. Bukti penelantarannya adalah keberadaan masyarakat, bangunan pemerintah, dan sertifikat warga di atas lahan HGU,” tegas Yani.

Yani menduga titik awal kekacauan tata ruang ini bermula sejak munculnya sistem peta digital pada tahun 2017 yang menggantikan peta manual. Alih teknologi ini justru memperlihatkan ketidaksinkronan batas-batas administratif yang selama ini tak pernah ditata ulang.

Bupati Pasangkayu, Yaumil Ambo Djiwa mengakui masalah ini sudah sangat lama dan kompleks. Menurutnya, kunci penyelesaian ada di tangan pemerintah provinsi dan pusat.

“Dan kuncinya, ada pada Pak Gub dan Pak Wagub selaku perpanjangan pemerintah pusat di daerah. Yang perlu diketuk adalah para pimpinan perusahaan di Jakarta. Kalau pimpinan perusahaan di daerah kan tidak bisa ambil keputusan,” ujar Yaumil.

Ia berharap solusi tuntas bisa dicapai lewat dialog bersama antara pemerintah dan direksi PT Astra Agro Lestari di Jakarta, dengan tetap melibatkan warga yang terdampak. (*)

No More Posts Available.

No more pages to load.