Data Stunting Terbaru 2024: Sulbar Urutan Ketiga Tertinggi Nasional, Posisinya Naik Dari Tahun Sebelumnya

oleh -834 Dilihat

Mamuju, Mesakada.com — Provinsi Sulbar kembali menunjukkan hasil buruk dalam penanganan Stunting. Tahun 2024, berdasarkan data SSGI 2024, Sulbar berada di urutan ketiga tertinggi. Di bawah Papua Pegunungan dan NTT.

Di tahun 2023, tingkat prevalensi Stunting Sulbar sempat turun 4,7 persen dari tahun 2022. Hanya saja, penurunan prevalensi itu tidak mengubah posisi Sulbar di zona merah.

Sulbar tergeser dari peringkat kedua tertinggi karena terdapat provinsi baru yang sudah masuk hitungan SKI 2023.  Yakni Papua Tengah, Papua Pegunungan dan Papua Barat Daya.

Posisi Sulbar tahun 2023 berada diurutan lima. Di bawah Papua Tengah 39,2 persen, NTT 37,9 persen, Papua Pegunungan 37,3 persen, Papua Barat Daya 31,0 persen dan Sulbar 30,3 persen.

Sementara di tahun 2024, Sulbar naik dua tingkat ke posisi tiga tertinggi, di bawah Papua Pegunungan dan NTT. Sedangkan, Papua Tengah dan Papua Barat Daya justru berhasil turun ke posisi empat dan lima.

Hasil ini tentu membuat Sulbar menjadi provinsi dengan prevalensi stunting tertinggi di Regional Sulawesi.

Kondisi ini membuat Wakil Gubernur Sulbar, Salim S Mengga, menekankan pentingnya perencanaan yang matang dan berbasis data valid.

“Stunting itu seperti gelombang, naik turun, lalu kita yang disalahkan. Karena itu saya minta perencanaannya betul-betul matang dan tepat sasaran,” ujarnya, Senin 19 Mei.

Ia juga menjelaskan bahwa penanganan stunting ke depan akan menggandeng berbagai elemen, termasuk kampus kesehatan, Babinsa, dan Bhabinkamtibmas. Menurutnya, pelibatan TNI-Polri sangat penting karena jangkauan mereka hingga ke wilayah pelosok.

Biaya operasional dalam menjalankan program penanganan stunting dan kemiskinan juga mesti diperhitungkan. Ia menilai tidak realistis jika tim di lapangan diminta bekerja tanpa dukungan anggaran yang memadai.

Salim juga mengungkapkan bahwa anggaran untuk penanganan stunting dan kemiskinan di Sulbar mencapai sekitar Rp40 miliar. Ia menegaskan bahwa setiap rupiah yang digunakan harus bisa dipertanggungjawabkan

“Kita harus rasional, tidak mungkin menyuruh orang atau kelompok bekerja tanpa biaya operasional. Semua itu harus diperhitungkan,” jelasnya. (*)

No More Posts Available.

No more pages to load.