Akitivtas Tambang Picu Konflik Sosial di Sulbar, Perparah Penderitaan Rakyat

oleh -966 Dilihat
Ketua Umum PMII Cabang Mamuju, Refli Sakti Sanjaya

Mamuju, Mesakada.com Konflik antara masyarakat dan perusahaan tambang serta perkebunan sawit di Sulbar terus terjadi di berbagai wilayah.

Mulai dari Sampaga, Kalukku Barat, Beru-Beru, Gentungan, hingga Kanang-Kanang, Budong-Budong, Karossa, Sarasa, dan Lariang, masyarakat menghadapi persoalan serupa: pertentangan dengan perusahaan tambang pasir. 

Tidak hanya itu, sejarah konflik ruang di Sulbar mencatat berbagai perselisihan lain, seperti antara masyarakat dengan perusahaan tambang batuan zirkon di Padang Baka, tambang logam tanah jarang di Aralle, Mambi, dan Buntumalangka, hingga tambang batuan andesit di Tapalang Barat.

Konflik juga muncul di Banua Sendana dan Kabuloang akibat aktivitas tambang batu gajah, serta di Bonehau yang menghadapi eksploitasi tambang batu bara. Selain sektor tambang, perusahaan perkebunan sawit di Mamuju Tengah dan Pasangkayu juga menjadi sumber gesekan dengan warga setempat. 

“Kami menganggap konflik ruang yang terjadi ini sebagai bukti bahwa kebijakan tata ruang daerah diduga disusun secara asal-asalan tanpa keterlibatan masyarakat sipil,” kata Ketua Umum PMII Cabang Mamuju, Refli Sakti Sanjaya, Kamis 27 Februari.

Ia menilai pemerintah daerah dan DPRD, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten, seolah menutup mata terhadap realitas yang terjadi. Olehnya itu, ia mendesak Pemprov Sulbar segera mencabut izin perusahaan tambang dan perkebunan sawit yang dinilai menyerobot kawasan hutan serta mengancam sumber penghidupan masyarakat. 

Desakan juga dialamatkan kepada DPRD Sulbar agar lebih berpihak kepada rakyat dengan mengambil peran aktif dalam perjuangan masyarakat yang berkonflik dengan korporasi. 

“DPRD harus benar-benar menjadi representasi masyarakat di parlemen, bukan hanya diam dan membiarkan konflik ini terus berlanjut,” tambahnya. 

Selain itu, masyarakat juga menuntut agar DPRD Sulbar membuka ruang partisipasi publik dalam penyusunan kebijakan tata ruang daerah. Seperti Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K).

“Sikap ini tentu bukan karna kita menolak investasi untuk kemajuan daerah. Apalagi menolak perkembangan industri pertambangan dan perkebunan sawit. Tetapi kalau investasi juga tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan masyarakat, maka tentu semua pihak saya rasa wajib menolaknya. Karena jelas bertentangan dengan sila kelima pancasila yang berbunyi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” ungkapnya.

Ia berharap kebijakan yang disusun tidak lagi hanya mengakomodasi kepentingan investor, tetapi juga memperhatikan keberlangsungan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat setempat. (*)

No More Posts Available.

No more pages to load.